Jumat, 31 Oktober 2014

tak kenal maka tak sayang

Cerpen: Rahasia Bibi Tiny yang Cerewet

bibi 3Ayah dan ibu pergi menjenguk nenek di desa. Karena itu si kembar Sita dan Sari dititipkan pada bibi Tiny. Bibi Tiny adalah adik sepupu ibu. Perawakannya kurus dengan rambut keriting.
“Kalian harus patuh sama bibi Tiny ya!” pesan ibu dan ayah untuk kesekian kalinya sebelum berangkat.
Sita dan Sari hanya saling pandang pasrah. Andai saja yang menjaga mereka bukan bibi Tiny, tentu mereka akan dengan senang hati mengangguk. Sita dan Sari tidak suka pada bibi Tiny yang sangat cerewet. Beberapa kali, ayah dan ibu menitipkan mereka pada bibi Tiny dan saat-saat itu adalah saat yang menyebalkan. Bayangkan saja tidak boleh pergi jauh-jauh dari rumah dan harus ditemani lagi. Menyebalkan bukan. Belum lagi suara melengking bibi Tiny yang meneriaki mereka. Tidak boleh inilah, tidak boleh itulah. Sita dan Sari sangat jengkel pada bibi Tiny yang cerewet.
Seperti hari ini, bibi Tiny mulai cerewet lagi. “Aduuuhhh, Sita jangan lari-lari, nanti kamu jatuh!” pekik bibi Tiny sambil berkacak pinggang melihat Sita yang berlari-lari mengejar kupu-kupu. Sita tidak peduli, malah mempercepat larinya.
Kali ini giliran Sari yang menjadi sasaran marah bibi Tiny. “Sariii, jangan naik pohon itu, nanti kaki kamu patah,” teriak bibi Tiny histeris sambil melotot menyuruh Sari turun dari pohon.
Sama seperti Sita, Sari juga tidak mau mendengar bibi Tiny. Alih-alih mendengar, Sari malah dengan cueknya lompat dari pohon mangga. Buuuk!! Bibi Tiny memekik kaget melihat tubuh kecil Sari jatuh berdebam. Sita menghentikan larinya dan bergegas menuju bibi Tiny dan Sari.
Sari mengaduh kesakitan memegangi lututnya yang berdarah. “Aduuuhh sakit!” Sari mengaduh kesakitan hampir menangis. Bibi Tiny yang masih kaget serta Sita memapah Sari masuk ke dalam rumah.
“Bibi ‘kan sudah bilang, jangan naik pohon apalagi loncat.” Bibi Tiny mulai menangis sambil sibuk mencari obat merah di bufet.
Dengan telaten, bibi Tiny membersihkan luka dengan alkohol, mengoleskan obat merah dan menutupi luka dengan kain kasa. Sari dan Sita memandang bibi Tiny yang menangis sesenggukan.
“Bibi Tiny, kenapa menangis?” tanya Sari heran. “’Kan yang jatuh Sari.”
Sambil mengusap airmatanya dengan sapu tangan, bibi Tiny mengambil selembar foto dari dalam dompetnya kemudian menyerahkannya pada Sari dan Sita. Di dalam foto, seorang anak perempuan dengan kaki kanan patah menggunakan tongkat penyangga sedang tersenyum sedih ke arah kamera.
bibi 2
“Ini siapa, Bi?” Sita bertanya dengan kening berkerut.
“Ini bibi waktu masih seumur kalian. Waktu itu, bibi tidak mendengar kata ibu bibi. Bibi loncat dari pohon mangga dan jatuh,” cerita bibi Tiny dengan wajah murung.
“Apa yang terjadi kemudia, Bi?” tanya Sari dan Sita tak sabaran.
Bibi Tiny menghela napas sebelum melanjutkan ceritanya. “Kaki kiri bibi patah dan harus diamputasi karena lukanya terlalu parah. Selama hampir 3 tahun, bibi hanya pakai tongkat. Sebelum akhirnya bibi pakai kaki kiri palsu.” Tangis bibi sudah berhenti. Ia malah tersenyum lebar.
bibi 1“Maafkan Sari, Bibi!” ujar Sari lirih.
“Maafkan Sita juga ya, Bi!” kata Sita malu-malu. “Jadi ini alasan bibi Tiny cerewet ya?” tanya Sita lagi.
Bibi Tiny menggeleng. “Memangnya bibi cerewet ya?” bibi Tiny bertanya balik.
Sari dan Sita mengangguk bersamaan sambil berseru, “Bibi itu cerewet banget!” Tawa mereka bertiga berderai.
“Tapi kami janji, Bi. Akan patuh sama bibi. Tapi bibi janji cerewetnya dikurangi ya,” harap Sari dan Sita.
Bibi Tiny mengangguk sambil tersenyum, “Deal!”
Sejak kejadian itu, kedatangan bibi Tiny selalu dinanti oleh Sita dan Sari. Bibi Tiny memang masih cerewet, tapi kini Sita dan Sari tau, itu adalah tanda sayang bibi Tiny pada mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar